Kekuasaan Vs Keilmuan Dalam Dunia Pendidikan - anjoong

anjoong

we share we learn

Recent Posts

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here
Kekuasaan  Vs Keilmuan Dalam Dunia Pendidikan

Kekuasaan Vs Keilmuan Dalam Dunia Pendidikan

Share This
Kekuasaan  Vs Keilmuan Dalam Dunia Pendidikan-Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan sebuah opini kepada anda, Dunia Pendidikan di Indonesia selalu tidak mungkin stabil di karenakan bnyak pihak yang berbeda beda paham dalam menafsirkan makna pendidikan itu sendiri. jika anda melihat judul dari sebuah opini di atas pasti terlihat jelas sudah makna dri sebuah judul  Kekuasaan  Vs Keilmuan Dalam Dunia Pendidikan oleh karena itu tidak usah berlama lama lagi langsung saja ini dia.
Banyak pengamat pendidikan dan buku-buku tentang realita dalam dunia pendidikan saat ini, baik di lingkup sekolah maupun perguruan tinggi mengungkapkan tentang problema yang terjadi. Salah satunya adalah buku “Pembodohan Siswa Tersistematis“, penulis M. Joko Susilo sangat terperinci memberikan refleksi dan cermin bagi bobroknya dunia pendidikan kita saat ini baik sekolah maupun perguruan tinggi. Tanpa disadari pula hal itu tidak lain adalah bentuk dari pembunuhan karakter putra-putra bangsa. Perdebatan perubahan kurikulum, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, rendahnya penghargaan terhadap guru adalah sederatan dilema dunia pendidikan yang sekaligus terjerumus sebagai media proses pembodohan terhadap peserta didik.
Dari sekian banyak permasalahan yang menyebabkan lemahnya mutu pendidikan kita, bahkan termasuk yang penulis tahu dari beberapa sekolah dan perguruan tinggi, ternyata unsure kekuasaan lebih diutamakan atau di NO. 1 kan dibandingkan keilmuan. Ditambah tidak adanya sistem atau persiapan semakin meyakinkan bahwa rapuhnya sistem pendidikan yang hanya tinggal menunggu waktu roboh, kalaupun sadar saat telah berjalan tetapi tak ada solusi dan tak dianggapnya sebuah ilmu (sistem yang telah diakui)  maka tinggalah kekuasaan yang berkuasa untuk seberapa lama dan kuat menopang di luar ada mukjizat dan keajaiban sang khalik.
Sebagai contoh, seorang rektor/direktur/ketua/kepala sekolah maupun perguruan tinggi yang memiliki gelar pendidikan dan keilmuan profesor atau lebih rendah dari seorang professor yang professional atau ilmuan tetapi menempati jabatan struktural lebih rendah maka upah, fasilitas dan keseahteraan jauh berbeda dengan yang memiliki jabatan yang lebih tinggi. Dalam hal ini maka kekuasaan lebih berkuasa dibandingkan ilmu.
Selain permasalahan diatas, sangat membahayakan institusi dan masa depan peserta didik jika pemimpin instansi pendidikan lebih memakai kekuasaanya dari pada keilmuanya. Karena jika seperti ini seorang pemimpin meskipun tidak ada ilmunya (semau hati atau sesuka hati) dalam menerapkan kepemiminanya maka yang salahpun akan menjadi benar. Pemimpin yang seperti ini biasanya dalam setiap rapat hanya berupa sosialisasi, bukan rapat yang didalamnya ada musyawarah untuk mencapai mufakat karena yang lainya dianggap sebagai alat untuk melaksanakan perintah sesuai keinginanya.
Kalaupun dimintain pendapat hanya formalitas saja dan akhirnya yang dipakai adalah keputusan yang keluar dari pendapatnya sendiri. Dan dalam realitanya selama sejarah pendidikan, pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang sangat mengancam peserta didik dan dunia pendidikan. Maka kekuasaan dapat mengalahkan keilmuan dan sebaliknya keilmuan tak berkutik dengan kekuasaan. Biasanya berdasarkan gaya maka di golongkan Gaya kepemimpinan dictator. Pada gaya kepemimpinan dictator (dictatorial leadership style) ini supaya mencapai tujuan dilakukan dengan menimbulkan ketakutan serta ancaman hukum. Tidak ada hubungan dengan bawahan, karena mereka diangap hanya sebagai pelaksana, alat dan pekerja saja. Jika ditinjau dari rumusan Mc Gregor, gaya dictator ini adalah bentuk ekstrim. Kemudian Gaya kepemimpinan yang sejenis adalah autokratis.  Pada gaya kepemimpinan autokratis (autocratic leadership style) ini segala keputusan berada di tangan pemimpin. Pendapat atau kritik dari bawahan tidak pernah dibenarkan.
Padahal secara agama masalah gaya kepemimpinan diatas tidak dibenarkan sebagaimana pesan agama melalui QS al-baqarah/2 ayat 216, QS As-Syura/42 ayat 38) dan Ali Imran/3 : 159.
Sebagaimana QS. 2/Al Baqarah ayat 216. Artinya : diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Ayat ini mengajak kita berfikir hati-hati dalam bertindak karena bisa jadi seorang pemimpin menganggap baik apa yang ia pilih dan putuskan, belum tentu baik buat mitra kerja dan umat yang dipimpinya, maka untuk mengetahui baik tidak nya kita terutama umat muslim di WAJIB kan untuk bermusyawarah dalam hal keduniawian. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Quran dibawah ini :
QS 42/As-Syura: 38. Artinya : dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
QS 3/ Al Imran. : 159. Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan termasuk dalam pendidikan.
Sebagaimana diterangkan dalam surah As-Syura/42 : 38 dan Ali Imran/3 ayat 159. Musyawarah penting karena kepemimpinan berkaitan dengan banyak orang. Melalui musyawarah akan terbangun tradisi keterbukaan, persamaan dan persaudaraan. Perencanaan, organisasi, pengarahan dan pengawasan selalu saja terkait dengan sejumlah orang, maka keterbukaan, persamaan dan persaudaraan akan memback up lancarnya proses manajemen tersebut.
Parahnya, saat ini sekolah malah dijadikan sebagai lembaga untuk membangun kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, dan tujuan utama adalah lahan bisnis yang menguntungkan . Misalnya Lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern telah berubah menjadi lembaga pendidikan elitis dan eksklusif, karena hanya terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu. Sedangkan orang miskin dilarang sekolah dalam hal ini. Karena dengan biaya pendidikan yang melangit mengakibatkan orang miskin mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Setidaknya gambaran dalam buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah“ karya Eko Prasetyo sangat jelas kebenarannya.
Dengan kondisi yang serba tidak menentu ini, sekolah bukan lagi merupakan proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan tragisnya telah membelenggu kreativitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, membuat bingung, cemas serta lemah bagi peserta didik. Karena sekolah tidak hanya terkesan elitis tetapi juga sangat rapuh. Baik rapuh dari segi fisik lebih-lebih juga rapuh ketika dihadapkan dengan kekerasan dari luar yang merenggut eksistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages